Selasa, 28 April 2020

Wawasan Politik Sultan Agung

Guru Madrasah
Wawasan Politik Sultan Agung
Sultan Agung sebagai raja Jawa memiliki wawasan politik yang luas dan jauh kedepan. Melebihi siapa pun juga yang hidup pada zamannya. Dalam bahasa ilmu politik atau kenegaraan ia menguasai konsep politik dokrin keagungbinataraan. Menurut dokrin itu kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan, yang utuh dan bulat, kekuasaan itu tidak tersaingi, tidak tekotak-kotak atau terbagi-bagi, dan  merupakan keseluruhan (tidak hanya bidang-bidang tertentu).
Sultan Agung sebagai raja Jawa memiliki wawasan politik yang luas dan jauh kedepan Wawasan Politik Sultan Agung
Karena wawasan politiknya yang demikian itu, maka sangat wajar kalau Sultan Agung berusaha mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram. Sejarah mencatat sebagai wilayah Mataram pada zaman Sultan Agung adalah seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat sampai dengan Karawang (Krawang), Jawa Timur sampai daerah Jember dan Madura. Usahanya untuk mempersatukan Balambangan (Banyuwangi) dan Banten belum berhasil.
Pada waktu Mataram sedang sibuk di daerah Jawa Timur, muncul kekuatan baru di Jawa, VOC. Badan dagang ini pada tahun 1619 telah berhasil merebut Jakarta dan mendirikan di atas reruntuhannya, Batavia. Dari kota ini kemudian VOC merajarela di seluruh Indonesia.

Sultan Agung juga melemparkan pandangan politik keluarnya pulau Jawa. Ada faktor tertentu yang melatarbelakangi pandangan politiknya keluar pulau Jawa yang  berkaitan dengan pesaingnya di Jawa atau pandangannya yang jauh.
Surabaya sebagai saingan utama Mataram sebelah timur mempunyai Sukadana di Kalimantan Barat sebagai vasal, atau setidak-tidaknya sebagai mitra dagang. Surabaya juga menjalin kerjasama dengan VOC. Palembang adalah daerah yang dibawah oleh Banten. Sementara itu kerajaan Banjarmasin bersaing dengan Kerajaan Martapura.

Pelayaran VOC ke Maluku merupakan ancaman pula bagi kerajaan Makassar.

Keadaan yang penuh liku yang demikian tadi menyebabkan Mataram menjalin kerajasama ke kerajaan di luar Jawa. Mataram dengan susah payah mengalahkan Surabaya. Salah satu yang memperkuat Surabaya adalah Sukadana. Karena itu Sultan Agung harus menundukkan Sukadana, dan ini dilaksanakan pada tahun 1622. Surabaya masih berkerjasama dengan VOC di Batavia, akan tetapi tidak berjalan efektif, sehingga serangan Mataram atas Surabaya pada tahun 1625, serangan ke 6, berhasil menundukkan Surabaya. Banten adalah saingan Mataram di ujung barat. Kerajaan ini membawahkan Palembang. Kerajaan yang disebut akhir kurang senang dengan statusnya sebagai bawahan Banten. Karena itu Palembang minta bantuan Mataram untuk melawan Banten. Mataram juga memberikan bantuan kepada Banjarmasin karena ancaman dari kerajaan Martapura. Kerajaan Mataram juga berkerjasama dengan kerajaan Makassar. Ini dapat berlangsung karena kedua kerajaan Mataram dan Makassar sama-sama menghadapi Belanda.

Terlepas dari keberhasilan kerjasama antara Mataram dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa tersebut, Sultan Agung memiliki wawasan politik yang luas pandangan politiknya yang jauh, serta tidak dimiliki oleh raja-raja lain dari Mataram pada umumnya. Sultan Agung ingin mempersatukan berbagai kerajaan bukan hanya di Jawa, akan tetapi juga di luar Jawa.
Sultan Agung juga mengunakan wawasan politiknya untuk menghadapi bangsa asing. Bangsa asing yang mendapatkan perhatian dari Sultan Agung adalah belanda yang telah berhasil mendirikkan koloni di Jakarta, Batavia, dan Portugis yang berhasil mendirikan koloni di Malaka. Belanda (VOC) dan Portugis bersaing. Bagi Mataram jelas VOC lebih merupakan ancaman. VOC merupakan ancaman yang angkut. Ini disebabkan oleh kedudukannya di Jakarta, yang relatif lebih dekat dengan Mataram. Karena itu ketika upaya mengusir Belanda dari Jakarta pada tahun 1628 dan 1629 tidak berhasil, Mataram mencoba menjalin kerjasama dengan Portugis di Malaka untuk bersama-sama menghadapi Belanda.

Kerjasama Mataram dan Portugis belum berhasil memukul VOC. Menghadapi ancaman itu VOC tidak tinggal diam. Ia justru mendahului mereka. Gubernur Jendral van Diemen pada tahun 1641 berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. Dengan ini Mataram kehilangan salah satu harapan untuk mengusir Belanda dari Jakarta. Sebaliknya, Mataram malah menghadapi Kondisi yang lebih sukar untuk mengalahkan VOC, karena jatuhnya Malaka itu.
Dapat kita simpulkan dari keterangan di atas bahwa Mataram bersedia menjalin kerjasama dengan siapa saja baik dari kalangan bangsa Indonesia sendiri maupun dari kalangan bangsawan lain yang jelas berbeda-beda agamanya. Dengan belanda pun Mataram mau berkerjasama. Ini antara lain dari ajakan Sultan Agung untuk bersama-sama menyerang Banten, saingan Mataram di ujung Barat. Akan tetapi VOC menolak, karena setelah Banten dikalahkan, VOC akan menerima gilirannya. Namun demikian Mataram masih mau juga berkerjasama secara terbatas dalam penjualan beras kepada VOC.

Sumber bacaan:
Moedjanto, G. 1986. Sultan Agung, Keagungan dan Kebikjaksanaan. Yogyakarta: YIPK Panunggalan Lembaga Javanologi.

Baca Juga: